Beruntunglah mereka yang menikah
sebelum mapan. Berbahagialah mereka yang mendapatkan pasangan yang belum mapan.
Banyak laki-laki yang menunda
menikah dengan alasan ‘belum mapan’. Saya tak ingin memperdebatkan apa definisi
‘mapan’ di sini, karena mapan bagi setiap orang punya ukuran yang berbeda-beda.
Tapi, bagi mereka yang masih ragu
untuk menikah karena menunggu mapan, izinkanlah saya memberi nasihat yang
baru: Menikahlah sebelum mapan!
Saya selalu suka kalimat John
Donne yang pernah juga dipelesetkan Abraham Heschel, katanya: ‘No man is an
island’, tak ada laki-laki yang menjadi pulau bagi dirinya sendiri.
Artinya, tak ada seorangpun yang
bisa hidup sendirian, seperti sebuah pulau yang tak membutuhkan orang lain.
Setiap orang selalu membutuhkan
orang lain untuk berbagi dan mengisi sesuatu yang ‘kosong’ dalam hidupnya.
Dalam konsep ini, menurut Donne, tak ada seorang pun di dunia ini yang ‘mapan’.
Jika seorang yang hendak menikah
memiliki cara berpikir demikian, maka pernikahan bisa didekati dengan cara yang
lebih rendah hati.
Jika seorang laki-laki bisa
berpikir ‘saya belum mapan’, misalnya, maka ia akan mendekati istrinya sebagai
seseorang yang akan menyempurnakan hal-hal yang belum mapan dalam dirinya.
Bagi saya, mapan tentu saja bukan
soal kekayaan atau kepemilikan saja, mapan adalah soal kesanggupan individu
dalam menghadapi berabagai tantangan dalam hidupnya.
Kalau mapan hanya soal uang atau
karir, bukankah banyak yang berlebih secara materi dan gemilang di tempat kerja
tapi tak sanggup menghadapi ego dan amarahnya sendiri? Nah!
Dengan pemahaman baru ‘menikah
sebelum mapan’, seseorang akan menghadapi pasangannya dengan penuh penghargaan.
Karena ia sadar bahwa dalam diri pasangan tersebut ada sisi-sisi yang akan
menyempurnakan dirinya.
Bayangkan kalau cara berpikir
seperti ini tidak ada dalam sebuah pernikahan, hubungan suami-istri akan melulu
atas-bawah, subordinatif, dan cenderung tidak adil.
Tidak sedikit suami yang karena
merasa bahwa dialah yang memiliki ‘penghasilan’, dialah yang punya uang, dialah
yang hidupnya ‘mapan’, dialah yang bersinar di dunia luar, malah merendahkan
dan tidak menghargai istrinya.
Jika nekad menikah sebelum mapan,
lantas istri dan anak mau dikasih makan apa—dikasih makan cinta? Barangkali
pertanyaan itu benar-benar terasa mengganggu.
Tapi orang-orang lupa bahwa mapan
tak sama dan sebangun dengan rasa tanggung jawab. Yang dibutuhkan dalam
pernikahan bukanlah harta yang berlimpah, tapi rasa tanggung jawab yang cukup.
Percuma saja punya kekayaan
banyak tapi tak bertanggung jawab, kan? Banyak kok suami yang rela membuat
istri dan anak-anaknya ‘susah’ tetapi memanjakan dirinya sendiri—malah
memanjakan selingkuhannya.
Artinya, harta yang banyak tak
akan berarti apa-apa dalam pernikahan jika kita tak punya banyak cinta untuk
menjalaninya.
Suatu hari saya ditanya soal
mewujudkan impian bersama dalam rumah tangga, “Bagaimana meyakinkan istri atau
suami agar mau bersama-sama mewujudkan impian besar yang kita miliki?”
Jawabannya tentu saja sederhana.
Pertama-tama, berpikirlah bahwa kita adalah individu yang tidak sempurna, bahwa
kita selalu membutuhkan bantuan orang lain, bahwa kita membutuhkan partner
untuk mewujudkan impian-impian kita.
Dengan merasa bahwa kita ‘tidak
sempurna’, maka kita akan terus menjadi ‘pribadi yang membelum’, pribadi yang
selalu dalam proses… Di sanalah akan tercipta kesalingpahaman antara suami dan
istri.
Selanjutnya, keduanya akan
sama-sama menjalin komitmen untuk bersama mewujudkan impian-impian besar yang
mereka miliki.
Tapi, jangan hanya saling
mengerti untuk mewujudkan impian-impian besar saja! Pernikahan bukan hanya
tentang mewujudkan impian-impian besar, tapi juga menjalani hal-hal kecil di
keseharian.
Jika yang ada dalam pikiran Anda
hanya ingin mewujudkan impian-impian besar, sebaiknya jangan menikah, tapi
ikutlah organisasi atau partai politik!
Lantas apakah dengan menikah
seseorang yang ‘belum mapan’ akan menjadi mapan? Belum tentu. Tergantung
kualitas pernikahan itu sendiri.
Dan kualitas pernikahan
ditentukan oleh pola hubungan antara suami dan istri. Banyak suami atau istri
yang memperlakukan pasangannya dengan prinsip relasi ‘aku-kamu’, dengan
menganggap pihak ‘kamu’ hanya sebagai objek atau benda yang tak memiliki
kehendak atau pilihan-pilihan.
Tentu saja relasi semacam ini
miskin empati. Dalam relasi ‘aku-kamu’ semacam ini, pusat kepentingan ada di
‘aku’ dan ‘kamu’ adalah pihak luar, kamu adalah yang harus memerhatikan aku,
kamu adalah yang harus nurut, kamu adalah objek yang tidak merdeka.
Martin Buber, filsuf asal
Austria, menawarkan pola hubungan lain yang lebih baik. Ia menyebutnya ‘aku dan
engkau’ (I and Thou atau Ich und Du).
Dalam relasi aku-engkau, kata
Buber, ‘engkau’ lebih dihargai sebagai subjek yang setara. Karena dalam diri
‘engkau’ ada bagian dari ‘aku’. Pemisah antara aku dan engkau bukan sekadar hak
dan kewajiban, tetapi ikatan yang saling menguatkan.
Jika kita melihatnya dalam
konteks pernikahan, dalam hubungan ‘aku-engkau’ cara pandangnya bukan
semata-mata tentang apa kewajiban serta hak-hak suami terhadap istrinya, atau
sebaliknya, tetapi lebih kepada hubungan kasih-sayang—juga rasa cinta.
Jika hubungan rumah tangga di
bangun di atas prinsip ini, tak ada lagi persoalan ‘siapa harus menghormati
siapa’ atau ‘siapa harus menurut kepada siapa’ sebab segalanya berdasar pada
‘aku melakukan ini dan tidak melakukan itu karena aku menyayangimu’.
Kembali pada diskusi kita soal
kemapanan, individu yang lebih menghargai individu lainnya, suami yang lebih
berempati pada istrinya, memiliki peluang lebih besar untuk mapan dalam
pernikahannya.
Sekali lagi, mapan bukan hanya
soal kepemilikan kapital dan kecukupan finansial, tetapi ‘mapan’ dalam
pengertian yang lebih luas: Menjadi pribadi dewasa yang sanggup menghadapi
beragam tantangan dalam hidupnya.
Dengan modal kemapanan semacam
ini, pernikahan yang bahagia tentu merupakan sesuatu yang niscaya.
Akhirnya, bagi saya, prinsip
‘menikah sebelum mapan’ adalah pilihan orang-orang cerdas yang penuh optimisme
sakligus empati. Bagi yang sedang mencari pasangan, carilah orang yang seperti
ini.
Carilah orang yang akan mengajak
Anda sukses dan bahagia bersama, bukan orang yang merasa sudah sukses lalu
hanya akan menjadikan Anda ‘pelengkap’ saja.
Maka benarlah firman Allah dalam
Al-Quran, istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian baginya (Al-Baqarah
187). Suami adalah individu yang belum mapan tanpa istrinya, dan istri adalah
pribadi yang belum sempurna tanpa suaminya.
Jadi, bagaimana? Masih menunggu
mapan untuk menikah? Sampai kapan?
Oleh: Fahd Pahdepie
Sumber: pijar.net
0 komentar:
Post a Comment