EMPAT tokoh Islam berikut ini
berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam di Indonesia. Mereka
mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam berbagai bidang
kehidupan.
KH Ahmad Dahlan: Melampaui
Abduh
”Sejak umur 15 tahun, saat saya
berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya telah terpukau dengan
KH Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan menjadi anggota Muhammadiyah dan pernah
menyatakan keinginan “dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain
kafan.”
Muhammadiyah, salah organisasi
Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912.
Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”.
Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan
ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi
ini kemudian meluas ke daerah lain, termasuk luar Jawa.
Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta,
pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH
Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan
ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis, sejak kecil, dia mendapat
didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Ketika menetap di Mekah, di usia
15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh dengan pemikiran para pembaharu
Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam di kampung
halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-mula
dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki
jalan dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat,
menyebut Dahlan merupakan sosok pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia,
bahkan pengaruhnya melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir.
Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta
pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.
Ahmad Surkati: Mempercepat
Kemerdekaan
Dalam Muktamar Islam I di Cirebon
pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun
dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan apa Indonesia ini bisa
merdeka. Dengan Islamismekah atau Komunisme?” Perdebatan berlangsung alot.
Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi penghargaan di
antara mereka. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan
jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar
Surkari.
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau
Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875. Sempat mengenyam pendidikan di
Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian datang ke Jawa pada Maret 1911.
Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan warga keturunan
Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta
mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914.
Tanggal pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan
Al-Irsyad. Tujuan organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam
bidang pendidikan dan kemasyarakatan.
Sejarawan Belanda G.F. Pijper
dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950memandang
hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan
gerakan reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid
Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia.
Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Ahmad Surkati wafat pada 6
September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad tersendat, sekalipun tetap
eksis hingga kini.
Ahmad Hasan: Rujukan Kajian
Islam
Sekalipun kerap berpolemik, Bung
Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-menyurat dengan Ahmad Hassan,
sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam buku di Bawah
Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran Islam
Hassan.
Nama kecilnya Hassan bin Ahmad,
lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga campuran, Indonesia dan India.
Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh hingga penulis, di
Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad Junus,
salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.
Ketika pabrik tekstilnya tutup,
dia mengabdikan diri di bidang agama dalam lingkungan Persis, dan segera
popular di kalangan kaum muda progresif. Di Bandung pula Hassan bertemu dengan
Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian bersama-sama
menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dia juga
mendirikan pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk membentuk kader,
yang kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.
Persis didirikan di Bandung pada
12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang dipimpin Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam Persatuan Islam: Pembaharuan
Islam Indonsia Abad XX, Howard M. Federspiel menulis bahwa Persis adalah
organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi dalam percaturan politik
saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat Islam saat itu yang
mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, tahayul, dan khurafat.
Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama
pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara
memahami nash (teks) Alquran maupun hadits. Keahliannya dalam bidang
hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq menjadikannya
sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga ulama yang
produktif menulis.
Ahmad Hassan tutup usia pada 10
November 1958 dalam usia 71 tahun.
KH Hasyim Asy’ari: Menjaga
Tradisi Pesantren
“Jangan kamu jadikan semuanya itu
menjadi sebab buat bercera-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan
bermusuh-musuhan... Padahal agama kita hanya satu belaka: Islam!” ujarnya dalam
kongres NU di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1935. KH Hasyim Asy’ari sadar
perlunya menghapus pertentangan antara kalangan tradisi maupun pembaharu.
Lahir pada 14 Februari 1871 di
Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul
Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia
mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna
mempertahankan faham bermadzhab dan membendung faham pembaharuan.
Hasyim pernah belajar pada Syaikh
Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang jadi pakar ilmu hadits pertama, di
Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren
Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci.
Lewat pesantren inilah KH Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan
keagamaan Islam tradisional.
Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam
kurikulum pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan
sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang
menjaga tradisi pesantren.
Di masa Belanda, Hasyim bersikap
nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa yang menolak kebijakan pemerintah
kolonial. Yang paling spektakuler adalah fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat
Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang
meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.
Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli
1947. Dalam perjalanannya, NU larut dalam politik praktis hingga akhirnya
kembali ke khitah 1926.
Sumber : historia.id
0 komentar:
Post a Comment